SELAYANG
PANDANG SUKU DANI
Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang dikenal sejak ratusan
tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat/perkakas
yang pada awal mula ditemukan diketahui telah mengenal teknologi penggunaan
kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang
dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.
Suku Dani masih banyak mengenakan ''koteka''
(penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para wanita
menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai”
(gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan,
perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Suku Dani Papua pertama kali diketahui di Lembah Baliem
diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran
tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama
adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda), tetapi mereka tidak beroperasi di
Lembah Baliem.
Kemudian penyidik asal Amerika Serikat yang bernama Richard
Archold anggota timnya adalah orang pertama yang mengadakan kontak dengan
penduduk asli yang belum pernah mengadakan kontak dengan negara lain
sebelumnya. Ini terjadi pada tahun 1935. kemudian juga telah diketahui bahwa
penduduk Suku Dani adalah para petani yang terampil dengan menggunakan kapak
batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu atau tombak
kayu dan tongkat galian.
Pengaruh Eropa dibawa ke para misionaris yang membangun pusat Misi
Protestan di Hetegima sekitar tahun 1955. Kemudian setelah bangsa Belanda
mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai berdatangan.
BAHASA SUKU DANI
Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu:
- Sub keluarga Wano di Bokondini
- Sub keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa.
- Sub keluarga Nggalik & ndash
Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan
bahasa Papua tengah (secara umum).
LETAK GEOGRAFIS
Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20
sampai 50.20′ Lintang Selatan serta 1370.19′ sampai 141 bujur timur.
Batas-batas Daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut : sebelah
utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, barat dengan
Kabupaten Paniai, selatan dengan Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan
negara Papua Nugini.
Topografi Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung
yang tinggi dan lembah-lembah yang luas. Di antara puncak-puncak gunung yang
ada beberapa diantaranya selalu tertutup salju, misalnya Puncak Trikora (4750 m), Puncak
Yamin (4595 m), dan Puncak Mandala (4760 m). Tanah pada umumnya
terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat di daerah pegunungan
sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan lumpur,
tanah liat dan lempung.
KLIMATOLOGIS
Suku Dani menempati daerah yang beriklim tropis basah karena
dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut, temperatur udara
bervariasi antara 80-200 derajat Celcius, suhu rata-rata 17,50 derajat Celcius
dengan hari hujan 152,42 hari pertahun, tingkat kelembaban diatas 80 %, angin
berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan
terendah 2,5 knot.
KEPERCAYAAN
Dasar religi masyarakat Dani adalah menghormati roh nenek
moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi.
Konsep kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti
para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak
laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain :
- kekuatan menjaga kebun
- kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala
- kekuatan menyuburkan tanah Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.
SISTEM KEKERABATAN
Masyarakat Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana
bapak, ibu, dan anak tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat
komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung
aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam masyarakat Dani unit rumah
tersebut adalah sili.
Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu kelompok
kekerabatan, paroh masyarakat, dan kelompok teritorial.
- Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).
- Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)
- Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
PERNIKAHAN
Pernikahan orang Dani bersifat poligami diantaranya
poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu – satuan tempat tinggal yang
disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 & ndash; 4 slimo yang
dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari
keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung
Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro.
Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya
berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).
KESENIAN
Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara
membangun tempat kediaman, seperti disebutkan di atas dalam satu silimo ada
beberapa bangunan, seperti : Honai, Ebeai, dan Wamai.
Selain membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai
seni kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pengikat kapak.
Orang Dani juga memiliki berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan
tersebut antara lain : Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.
PENDIDIKAN
Sebagaimana suku – suku pedalaman Papua, seperti halnya suku
Dani, umumnya tingkat pendidikan (formal) rendah dan kesadaran untuk menimba
ilmunya juga masih kurang. Namun, sejak masa reformasi beberapa belas tahun
silam suku Dani sudah banyak yang menuntut ilmu ke luar daerahnya. Salah
satunya adalah Meri
Tabuni.
POLITIK DAN KEMASYARAKATAN YANG
BERSAHAJA
Masyarakat Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling
tolong menolong, kehidupan masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
- Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong
- Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku
- Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.
Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu
disebut Ap Kain yang memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3
kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri
& ndash; sendiri, mereka adalah : Ap. Menteg, Ap. Horeg, dan Ap Ubaik Silimo
biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam
masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang
berarti kuat, pandai dan terhormat.
Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua,
tetapi masih mampu mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun
kampungnya. Urusan tersebut antara lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta
melerai pertengkaran.
Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya
perang atau pesta lain.
Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin
konfederasi biasanya pernah juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak,
syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani :
Pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai
berburu, memiliki kekuatan fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan
pandai berperang.
SISTEM EKONOMI
Sistem ekonomi nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil
dari suatu proses perpindahan manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke
kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.
Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat
praagraris yaitu baru mulai menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas.
Inovasi yang berkesinambungan dan kontak budaya menyebabkan
pola penanaman yang sangat sederhana tadi berkembang menjadi suatu sistem
perkebunan ubijalar, seperti sekarang.
MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok
tanam dan beternak babi. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan
untuk dibudidayakan, artinya mata pencaharian umumnya mereka adalah berkebun.
Tanaman-tanaman mereka yang lain adalah pisang, tebu, dan tembakau.
Kebun-kebun milik suku Dani ada tiga jenis, yaitu:
- Kebun-kebun di daerah rendah dan datar yang diusahakan secara menetap
- Kebun-kebun di lereng gunung
- Kebun-kebun yang berada di antara dua uma
Kebun-kebun tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau
beberapa kelompok kerabat. Batas-batas hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini
adalah sungai, gunung, atau jurang. Dalam mengerjakan kebun, masyarakat suku
Dani masih menggunakan peralatan sederhana seperti tongkat kayu berbentuk
linggis dan kapak batu.
Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak
babi. Babi dipelihara dalam kandang yang bernama wamai (wam = babi; ai =
rumah). Kandang babi berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang yang
bentuknya hampir sama dengan hunu. Bagian dalam kandang ini terdiri dari
petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi bilah-bilah
papan.
Bagian atas kandang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan kayu bakar dan alat-alat berkebun.
Bagi suku Dani, babi berguna untuk:
- dimakan dagingnya
- darahnya dipakai dalam upacara magis
- tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan
- tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi
- sebagai alat pertukaran/barter
- menciptakan perdamaian bila ada perselisihan
Suku Dani melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat
terdekat di sekitarnya. Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk
membuat kapak, dan hasil hutan seperti kayu, serat, kulit binatang, dan bulu
burung.
RUMAH ADAT
Honai, rumah adat suku Dani ukurannya
tergolong mungil, bentuknya bundar, berdinding kayu dan beratap jerami. Namun,
ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang. Rumah jenis ini namanya Ebe'ai
(Honai Perempuan).
Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis
kelamin penghuninya. Honai dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai
Perempuan) dihuni oleh perempuan. Komplek Honai ini tersebar hampir di seluruh
pelosok Lembah Baliem yang luasnya 1.200 km2. Baik itu dekat jalan besar (dan
satu-satunya yang membelah lembah itu), hingga di puncak-puncak bukit, di
kedalaman lembah, juga di bawah naungan tebing raksasa.
Rumah bundar itu begitu mungil sehinggi kita tak bisa
berdiri di dalamnya. Jarak dari permukaan rumah sampai langit-langit hanya
sekitar 1 meter. Di dalamnya ada 1 perapian yang terletak persis di tengah. Tak
ada perabotan seperti kasur, lemari, ataupun cermin. Begitu sederhana namun
bersahaja.
Atap jerami dan dinding kayu rumah Honai ternyata membawa
hawa sejuk ke dalam Honai. Kalau udara dirasa sudah terlalu dingin, seisi rumah
akan dihangatkan oleh asap dari perapian. Bagi suku Dani, asap dari kayu sudah
tak aneh lagi dihisap dalam waktu lama. Selama pintu masih terbuka (dan memang
tak ada tutupnya), oksigen masih mengalir kencang.
Selain jadi tempat tinggal, Honai juga multifungsi. Ada
Honai khusus untuk menyimpan umbi-umbian dan hasil ladang, semacam lumbung
untuk menyimpan padi. Ada pula yang khusus untuk pengasapan mumi. Fungsi yang
disebut terakhir itu bisa ditemukan di Desa Kerulu dan Desa Aikima, tempat 2
mumi paling terkenal di Lembah Baliem.
BENTUK HONAI
Bentuk Honai yang bulat tersebut dirancang untuk menghindari
cuaca dingin ataupun karena tiupan angin yang kencang sehingga rumah yang
sederhana ini dapat bertahan bertahun-tahun lamanya.
ATAP HONAI
Honai memiliki bentuk atap bulat kerucut. Bentuk atap ini
berfungsi untuk melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak mengenai
dinding ketika hujan turun.
Atap honai terbuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar
yang terbuat dari kayu buah sedang yang dibakar di tanah dan diikat menjadi
satu di bagian atas sehingga membentuk dome. Empat pohon muda juga diikat di
tingkat paling atas dan vertikal membentuk persegi kecil untuk perapian.
Penutup atap terbuat dari jerami yang diikat di luar kubah.
Lapisan jerami yang tebal membentuk atap dome, bertujuan menghangatan ruangan
di malam hari. Jerami cocok digunakan untuk daerah yang beriklim dingin. Karena
jerami ringan dan lentur memudahkan suku Dani membuat atap serta jerami mampu
menyerap goncangan gempa, sehingga apabila terjadi gempa sangat kecil
kemungkinan rumah Honai akan rubuh.
DINDING & BUKAAN
Honai mempunyai pintu kecil dan jendela-jendela yang kecil.
Jendela-jendela ini berfungsi memancarkan sinar ke dalam ruangan tertutup itu.
Ada pula Honai yang tidak memiliki jendela, Honai tanpa jendela pada umumnya
dipergunakan untuk kaum ibu/perempuan.
Jika Anda masuk ke dalam honai ini, maka di dalam cukup
dingin dan gelap karena tidak terdapat jendela dan hanya ada satu pintu.
Pintunya begitu pendek sehingga harus menunduk jika akan masuk ke rumah Honai.
Di malam hari menggunakan penerangan kayu bakar di dalam
Honai dengan menggali tanah di dalamnya sebagai tungku,
selain menerangi bara api juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh. Jika
tidur, mereka tidak menggunakan dipan atau kasur, mereka beralas rerumputan
kering yang dibawa dari kebun atau ladang. Umumnya mereka mengganti jika sudah
terlalu lama karena banyak terdapat kutu babi.
KETINGGIAN
Rumah Honai mempunyai tinggi 2,5-5 meter dengan diameter 4-6
meter. Rumah Honai ditinggali oleh 5-10 orang dan rumah ini biasanya dibagi
menjadi 3 bangunan terpisah. Satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat
(tidur). Bangunan kedua untuk tempat makan bersama dimana biasanya mereka makan
beramai-ramai dan bangunan ketiga untuk kandang ternak terutama babi. Rumah
Honai juga biasanya terbagi menjadi 2 tingkat. Lantai dasar dan lantai satu di
hubungkan dengan tangga yang terbuat dari bambu/kayu. Biasanya pria tidur
melingkar di lantai dasar , dengan kepala di tengah dan kaki di pinggir
luarnya, demikian juga cara tidur para wanita di lantai satu. Dalam peraturan
adat Honai, pria dan wanita (termasuk anak-anak) tidak boleh tidur disatu
tempat secara bersamaan hukumnya tabu.
FUNGSI HONAI
Rumah Honai mempunyai fungsi antara lain:
- Sebagai tempat tinggal
- Tempat menyimpan alat-alat perang
- Tempat mendidik dan menasehati anak-anak lelaki agar bisa menjadi orang berguna di masa depan
- Tempat untuk merencanakan atau mengatur strategi perang agar dapat berhasil dalam pertempuran atau perang
- Tempat menyimpan alat-alat atau simbol dari adat orang Dani yang sudah ditekuni sejak dulu
FILOSOFI HONAI
Filosofi bangunan Honai yang bentuknya bulat melingkar
adalah :
- Dengan kesatuan dan persatuan yang paling tinggi kita mempertahankan budaya yang telah dipertahankan oleh nenek moyang kita dari dulu hingga saat ini.
- Dengan tinggal dalam satu honai maka kita sehati, sepikiran dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
- Honai merupakan simbol dari kepribadian.
BAHAN PEMBUAT
Kebiasaaan dari suku atau orang Dani dan Yali dalam
membangun Honai yaitu mereka mencari kayu yang memang kuat dan dapat bertahan
dalam waktu yang lama atau bertahun-tahun bahkan sampai ratusan tahun. Bahan
yang digunakan sebagai berikut:
- Kayu besi (oopihr) digunakan sebagai tiang penyangga bagian tengah Rumah Honai
- Kayu buah besar
- Kayu batu yang paling besar
- Kayu buah sedang
- Jagat (mbore/pinde)
- Tali
- Alang-alang
- Papan yang dikupas
- Papan alas dll.
ADAT MENGHORMATI NENEK MOYANG
Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang
nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu, juga adanya Kaneka Hagasir
yaitu upacara keagamaan untuk mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk
mengawali dan mengakhiri perang.
TRADISI POTONG JARI
Banyak cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita
ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk
mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Namun berbeda dengan
Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota
keluarga yang meninggal.
Tidak hanya dengan menangis, tetapi memotong jari. Bila ada
anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri,
ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka
beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang
yang kehilangan anggota keluarganya.
Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk
mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut nyawa seseorang di
dalam keluarga yg berduka.
MENGAPA JARI YANG DIPOTONG?
Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol
kerukunan, kesatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga,
walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya menyebutkan satu
perwakilan keluarga, yaitu ibu jari. Akan
tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah
kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan
manusia. Jari saling bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita
bisa berfungsi dengan sempurna.
Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak
maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang,
maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Alasan lainnya adalah “Wene opakima dapulik welaikarek
mekehasik” atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga,
satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu
sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi
masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang
ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah
sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan
papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.
Tradisi potong jari di Papua sendiri dilakukan dengan
berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak,
atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga
putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan
ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan jari. Selain tradisi
pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara
berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur.
Mandi lumpur dilakukan oleh anggota atau kelompok dalam
jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa setiap orang yang
meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali
ke tanah. Beberapa sumber ada yang mengatakan Tradisi potong jari pada saat ini
sudah hampir ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya belakangan ini karena
adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah
Papua. Namun kita masih bisa menemukan banyak sisa lelaki dan wanita tua dengan
jari yang telah terpotong karena tradisi ini.
Ditulis kembali oleh Arti
Tresno Koya Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar