Mungkin, banyak yang melupakan jasa Pahlawan
Nasional dari tanah Papua, Frans Kaisipo yang telahberjuang sejak
masa-masa kemerdekaan RI. Tindakannya yang sangat teguh menyatakan bahwa
Papua merupakan bagian dari Nusantara Indonesia, menjadikan dirinya
“dipinggirkan” oleh pemerintah Belanda karena hingga setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda masih bersikukuh menjadikan
Papua sebagai wilayah koloninya.
Hingga pada suatu ketika di tahun 1946, Frans
Kaisiepo dengan lantang mengatakan “Irian (Papua) itu merupakan bagian
dari Indonesia.”
Frans Kaisiepo lahri di Wardo, Biak, 10 Oktober 1921. Pada usia 24 tahun, ia mengikuti Kursus Bestuur(Pamong
Praja) di Hollandia (Jayapura) yang salah stau pengajarnya adalah
Soegoro Atmoprasodjo yang merupakan mantan guru Taman Siswa
(yogyakarta).
Sejak pertemuannya dengan Soegoro
Atmoprasodjo, jiwa kebangsaan Frans semakin bertumbuh dan kian berjuang
keras untuk menyatukan Irian (Papua) kedalam NKRI. Ketika umurnya 25
tahun, Frans menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) di
Biak. Selain itu, pada usianya yang ke-25 tersebut, Frans menjadi
anggota delegasi Papua (Nederlands Nieuw Guinea) yang kala itu membahas
tentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) dalam Republik
Indonesia Serikat (RIS), dimana pada saat itu Belanda memasukkan Papua
dalam NIT.
Di hadapan konferensi, Frans Kaisiepo
memperkenalkan nama “Irian” sebagai pengganti nama “Nederlands Nieuw
Guinea”, yang secara historis dan politik merupakan bagian integral dari
Nusantara Indonesia (Hindia-Belanda). Jelaslah pernyataan Frans serta
merta ditolak oleh Belanda dan sejak saat itu pula Frans dipinggirkan
oleh Belanda. Selain itu, ia juga dijauhkan dari segala agenda
pembicaraan mengenai Papua yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Pada 1940-an, Frans Kaisiepo pernah menjadi
Kepala Distrik d Warsa, Biak Utara dan menjelang dekade 1940an, ia
sempat mengusulkan diri agar Irian (Papua) masuk ke dalam wilayah
Karesidenan Sulawesi Utara. Beberapa waktu setelah pengusulan itu, ia
dipenjara dan diasingkan oleh Belanda. Kemudian tahun 1961, Frans
mendirikan Partai Politik Irian yang bersikap lantang menuntut penyatuan
segera Irian (Papua) ke dalam NKRI.
Adanya beberapa tuntutan dari berbagai pihak
agar Irian (Papua) segera diserahkan kepada pemerintah Indonesia
mengakibatkan perlunya konferensi yang membicarakan hal tersebut. Oleh
sebab itu, tahun 1949, digelarkan Koferensi Meja Bundar (KMB). Pada saat
itu, Belanda meminta Frans Kaisiepo masuk sebagai anggota delegasi
Belanda atau negara bagian BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg). Jelas hal tersebut langsung ditolak oleh Frans.
Dari hasil KMB tersebut, lahirlah keputusan
tentang pengakuan kedaulatan oleh keputusan mengenai pengakuan
kedaulatan oleh Belanda terhadap seluruh wilayah NKRI, namun Belanda
menunda penyerahan Papua kepada Indonesia hingga setahun kemudian. Akan
tetapi, setelah setahun berjalan, Belanda tetap berusaha keras
melanggengkan politik kolonialnya di Papua.
Berbagai jalur diplomasi pun terus
dilakukan Pemerintah Indonesia, namun Belanda semakin bersikukuh
mempertahankan kolonialisasinya terhadap Papua bahkan semakin terlihat
keinginan Belanda menyiapkan “Negara Papua”.
Setelah melewati beberapa konfrontasi, pada 4
Agustus 1969 dilaksanakanlah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang
pada saat itu Frans masih menjadi Gubernur Papua. Jelas Frans Kaisiepo
sangat berperan dalam pelaksanaan Pepera tersebut.
Hasil dari dari Pepera tersebut adalah suara
bulat dari masyarakat Papua adalah tetap bergabung dengan Indonesia.
Pelaksanaan Pepera diawasi langsung oleh utusan Sekjen PBB (diplomat
Bolivia, Fernando Ortiz Sanz selaku wakil PBB untuk Irian Barat) serta
dihadiri oleh beberapa duta besar dari negara lain.
Melalui Resolusi No.2504 pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Papua dinyatakan kembali ke dalam pangkuan NKRI.
Tentulah Frans Kaisiepo sangat berjasa dalam
perebutan kemerdekaan Irian (Papua) dari pemerintah Belanda. Oleh sebab
itu, pemerintah RI menganugerahi penghargaan Trikora dan Pepera kepada
Frans Kaisiepo.
Sangat jelas bukan, bahwa Papua memang jelas
bagian Indonesia sejak dahulu kala. Perjuangan para Pahlawan Nasional
dari tanah Papua juga turut mewarnai penyatuan NKRI. Lah sekarang kok
iya, penerusnya malah berkhianat terhadap jasa para pahlawannya?
Jelas tertulis diatas, bahwa keinginan
mendirikan “Negara Papua” adalah keinginan Pemerintah Belanda, bukan
keinginan dari para pahlawan yang berjuang mati-matian ingin
memerdekakan wilayah Papua dari jajahan Belanda.
SILAS PAPARE
Pria kelahiran Serui, Irian Jaya, 18 Desember 1918 ini merupakan orang yang berjiwa kebangsaan Indonesia yang sangat tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan dari sekolah setingkat sekolah dasar dan dari sekolah juru rawat, Silas kemudian menjadi Pegawai Pemerintah Belanda. Namun karena jiwa ke-Indonesia-annya yang begitu tinggi, maka begitu ia mendengar bahwa Indonesia telah merdeka, ia pun langsung mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Pada bulan Desember 1945, bersama teman-temannya berusaha mempengaruhi pemuda-pemuda di Irian Barat yang tergabung dalam Batalyon Papua agar melancarkan pemberontakan. Rencana itu gagal karena telah bocor duluan. Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Jaya Pura. Setelah bebas, pemberontakan kedua pun direncanakan kembali. Namun lagi-lagi gagal karena keburu bocor. Ia pun kembali ditangkap dan dipindahkan ke Serui. Di Serui inilah ia kebetulan bertemu dan berkenalan dengan Dr.Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan Belanda dari Sulawesi yang kembali dikuasai Belanda setelah proklamasi kemerdekaan.
Selanjutnya pada bulan Nopember 1946, ia mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Karenanya, ia kembali ditangkap pemerintah Belanda dan memindahkannya ke Biak. Dari Biak, tanpa sepengetahuan Belanda, ia melarikan diri ke Yogyakarta. Dan pada bulan Oktober 1949, ia kemudian membentuk Badan Perjuangan Irian yang bertujuan untuk membantu pemerintah Indonesia membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda sekaligus menyatukannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di pihak lain, Belanda tetap berupaya mempertahankan Irian Barat sebagai daerah kekuasaannya. Akhirnya pemerintah Indonesia sampai pada kesimpulan untuk merebut Irian Barat walau dengan cara kekuatan senjata sekalipun.
Silas Papare yang memang sangat menginginkan cepatnya berakhir penguasaan Belanda di tanah leluhurnya itu dengan cepat mengambil bagian dalam rencana pemerintah RI tersebut. Bahkan rupanya jauh-jauh hari, Silas malah sudah mempersiapkan diri akan perang terbuka ini dengan membentuk Kompi Irian di lingkungan Mabes Angkatan Darat.
Namun pada saat akhir-akhir hendak meletusnya perang terbuka tersebut, Belanda akhirnya bersedia berunding. Penandatangan persetujuan pun resmi di lakukan oleh keduabelah pihak pada tanggal 15 Agustus 1962. Dalam penantanganan Persetujuan New York itu, Silas Papare ikut terlibat sebagai anggota delegasi RI.
Tanggal 1 Mei 1963, Irian Barat pun resmi menjadi wilayah Republik Indonesia. Hal sesuai dengan isi persetujuan New York tersebut. Nama Irian Barat pun kemudian diganti menjadi Irian Jaya.
Walau masa hidup Silas Papare lebih banyak terkuras pada usaha pembebasan negerinya, namun semua jerih payahnya itu terasa terbayar sudah. Tanggal 7 Maret 1978, Silas baru kemudian meninggal dunia di tanah kelahirannya Serui. Dengan begitu, kurang lebih lima belas tahun sisa hidupnya masih bisa menikmati alam kemerdekaan negerinya yang diperjuangkannya ini.
Kini estaped perjuangan diteruskan kepada generasi muda. Namun perjuangan kini bukan lagi mengusir kolonial, tapi perjuangan mengusir kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, perpecahan, yang kini sepertinya masih akrab di bumi cendrawasih ini.
Lahir: Serui, Irian Jaya, 18 Desember 1918
Meninggal: serui, 7 Maret 1978
Pendidikan:
- Sekolah setingkat sekolah dasar
- Sekolah Juru Rawat
Pengalaman Pekerjaan:
Pegawai Pemerintah Belanda
Aktivitas:
- Desember 1945, bersama temannya di Batalyon Papua hendak
melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda.
- Nopember 1946, mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)
- Oktober 1949, membentuk Badan Perjuangan Irian
- Membentuk Kompi Irian di lingkungan Mabes Angkatan Darat
- Anggota delegasi RI penandatanganan Persetujuan New York.
Pengalaman Selama Perjuangan:
- Dipenjarakan di Jaya Pura
- Dipenjarakan di Serui
- Dipenjarakan di Biak
- Melarikan diri ke Yogyakarta.
MARTHEN INDEY
Nama Lengkap : Marthen Indey
Alias : Marthen
Profesi : -
Agama : Kristen
Tempat Lahir : Doromena, Jayapura, Papua
Tanggal Lahir : Kamis, 14 Maret 1912
Zodiac : Pisces
Warga Negara : Indonesia
Alias : Marthen
Profesi : -
Agama : Kristen
Tempat Lahir : Doromena, Jayapura, Papua
Tanggal Lahir : Kamis, 14 Maret 1912
Zodiac : Pisces
Warga Negara : Indonesia
Marthen Indey dilahirkan di Doromena, Jayapura pada tanggal 16 Maret
1912. Sebelumnya, pria yang akrab disapa Marthen ini merupakan polisi
Belanda yang kemudian berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu
dengan beberapa tahanan politik yang diasingkan di Digul, salah satunya
adalah Sugoro Atmoprasojo. Saat itu, ia bertugas untuk menjaga para
tahanan politik yang secara tidak langsung berhasil menumbuhkan jiwa
nasionalismenya dalam pertempuran melawan penjajah.
Jiwa nasionalisme Marthen memang tumbuh sangat kuat, namun beberapa upaya yang direncanakan olehnya dan puluhan anak buahnya dalam menangkap aparat pemerintah Belanda berulang kali gagal. Perjuangan Marthen dalam membela tanah kelahirannya sempat gagal beberapa kali, namun hal itu tidak menyurutkan niat dan semangat juang pria lulusan Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat ini menyerah dan tunduk pada musuh begitu saja.
Pada tahun 1944, sekembalinya dari pengungsian di Australia selama tiga tahun, Marthen ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan difungsikan sebagai tentara pelawan Jepang. Setahun berikutnya, ia diangkat sebagai Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris selama dua tahun. Dalam tahun-tahun tersebut Marthen tak hanya tinggal diam, namun ia melakukan kontak terhadap mantan para pejuang Indonesia yang pernah ditahan di Digul. Dalam kontak tersebut, mereka merencanakan suatu pemberontakan untuk mengusir Belanda dari tanah Cendrawasih. Namun, usaha mereka gagal begitu Belanda mencium gelagat Marthen dan rencana mereka batal diekskusi.
Di tahun ia merangkap menjadi Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris, tepatnya pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia. Mengetahui pihaknya membelot, Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Belum berhasil merebut Irian Barat untuk disatukan kembali dengan wilayah kesatuan Indonesia, pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama, Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia. Berkat piagam tersebut, Marthen dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Akhirnya, dalam perundingan tersebut, Irian Barat resmi bergabung dengan wilayah kesatuan Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
Marthen meninggal pada usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 17 Juli 1986. Berkat jasanya terhadap negara, Marthen mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993.
Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.
Jiwa nasionalisme Marthen memang tumbuh sangat kuat, namun beberapa upaya yang direncanakan olehnya dan puluhan anak buahnya dalam menangkap aparat pemerintah Belanda berulang kali gagal. Perjuangan Marthen dalam membela tanah kelahirannya sempat gagal beberapa kali, namun hal itu tidak menyurutkan niat dan semangat juang pria lulusan Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat ini menyerah dan tunduk pada musuh begitu saja.
Pada tahun 1944, sekembalinya dari pengungsian di Australia selama tiga tahun, Marthen ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan difungsikan sebagai tentara pelawan Jepang. Setahun berikutnya, ia diangkat sebagai Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris selama dua tahun. Dalam tahun-tahun tersebut Marthen tak hanya tinggal diam, namun ia melakukan kontak terhadap mantan para pejuang Indonesia yang pernah ditahan di Digul. Dalam kontak tersebut, mereka merencanakan suatu pemberontakan untuk mengusir Belanda dari tanah Cendrawasih. Namun, usaha mereka gagal begitu Belanda mencium gelagat Marthen dan rencana mereka batal diekskusi.
Di tahun ia merangkap menjadi Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris, tepatnya pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia. Mengetahui pihaknya membelot, Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Belum berhasil merebut Irian Barat untuk disatukan kembali dengan wilayah kesatuan Indonesia, pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama, Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia. Berkat piagam tersebut, Marthen dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Akhirnya, dalam perundingan tersebut, Irian Barat resmi bergabung dengan wilayah kesatuan Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
Marthen meninggal pada usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 17 Juli 1986. Berkat jasanya terhadap negara, Marthen mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993.
Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.
PENDIDIKAN
- Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat
- Sekolah Pelayaran
- Sekolah Dasar
KARIR
- Kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler, 1963-1983
- Anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mewakili Irian Jaya, 1963-1968
- Ketua PIM (Partai Indonesia Merdeka)
- Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris
- Anggota Polisi Hindia Belanda
PENGHARGAAN
- Pahlawan nasional
JOHANNES ABRAHAM DIMARA
(J.A.DIMARA)
Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. Siapak Dimara. Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johanes Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon. Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935. Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah . Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih. Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso. Pihak RI minta bantuan agar kapal bisa mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya. Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu. Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).
Pada tahun 1946, ia ikut serta dalam Pengibaran Bendera Merah Putih di Namlea, pulau Buru. Ia turut memperjuangkan pengembalian wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia. Pada tahun 1950, ia diangkat menjadi Ketua OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat). Ia pun menjadi anggota TNI dan melakukan infiltrasi pada tahun 1954 yang menyebabkan ia ditangkap oleh tentara Kerajaan Belanda dan dibuang ke Digul, hingga akhhinya dibebaskan tahun 1960.
Ketika Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora, ia menjadi contoh sosok orang muda Papua dan bersama Bung Karno ikut menyerukan Trikora di Yogyakarta. Ia juga turut menyerukan seluruh masyarakat di wilayah Irian Barat supaya mendukung penyatuan wilayah Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1962, diadakanlah Perjanjian New York. Ia menjadi salah satu delegasi bersama Menteri Luar Negeri Indonesia. Isi dari perjanjian itu akhirnya mengharuskan pemerintah Kerajaan Belanda untuk bersedia menyerahkan wilayah Irian Barat ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Maka mulai dari saat itu wilayah Irian Barat masuk menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika pawai 17 Agustus 1962 di depan istana (waktu itu belum ada Monas), Dimara mengenakan rantai yang terputus. Bung Karno melihat itu dan terinspirasi membuat patung pembebasan Irian Barat. Maka, dibuatlah patung pembebasan Irian Barat di lokasi yang hanya berjarak tidak sampai 1,5 km dari Istana negara, yakni di Lapangan Banteng. Dimara menceritakan hal itu dalam buku yang ditulis oleh Carmelia Sukmawati berjudul, Fai Do Ma, Mai Do Fa, Lintas Perjuangan Putra Papua,J.A. Dimara (2000).
Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000 di Jakarta , Johanes Dimara tutup usia.
Ketika Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora, ia menjadi contoh sosok orang muda Papua dan bersama Bung Karno ikut menyerukan Trikora di Yogyakarta. Ia juga turut menyerukan seluruh masyarakat di wilayah Irian Barat supaya mendukung penyatuan wilayah Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1962, diadakanlah Perjanjian New York. Ia menjadi salah satu delegasi bersama Menteri Luar Negeri Indonesia. Isi dari perjanjian itu akhirnya mengharuskan pemerintah Kerajaan Belanda untuk bersedia menyerahkan wilayah Irian Barat ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Maka mulai dari saat itu wilayah Irian Barat masuk menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika pawai 17 Agustus 1962 di depan istana (waktu itu belum ada Monas), Dimara mengenakan rantai yang terputus. Bung Karno melihat itu dan terinspirasi membuat patung pembebasan Irian Barat. Maka, dibuatlah patung pembebasan Irian Barat di lokasi yang hanya berjarak tidak sampai 1,5 km dari Istana negara, yakni di Lapangan Banteng. Dimara menceritakan hal itu dalam buku yang ditulis oleh Carmelia Sukmawati berjudul, Fai Do Ma, Mai Do Fa, Lintas Perjuangan Putra Papua,J.A. Dimara (2000).
Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000 di Jakarta , Johanes Dimara tutup usia.
Penghargaan
- Satyalancana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kedua
- Satyalancana Satya Dharma
- Satyalancana Bhakti
- Satyalancana Gerakan Operasi Militer III
- Satyalancana Perintis Pergerakan kemerdekaanPatung Pembebasan Irian Barat(Inspirasi Bung Karno Saat Pawai 17 Agustus 1962 melihat J.A Dimara mengenakan Rantai terputus)Patung yang berada di tengah-tengah lapangan Banteng ini dibuat pada tahun 1962, pada waktu bangsa Indonesia sedang berjuang untuk membebaskan wilayah Irian Barat (Irian Jaya, kemudian sekarang menjadi Papua).Ide pembuatan patung berasal dari Bung Karno, kemudian “diterjemahkan” oleh Henk Ngantung dalam bentuk sketsa. Ide tersebut tercetus dari pidato Bung Karno di Yogyakarta. Pidato Bung Karno telah menggerakkan massa untuk bertekad membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat dari belenggu penjajahan Belanda.Patung ini menggambarkan seorang yang telah berhasil membebaskan belenggu (maksudnya adalah penjajahan Belanda).Data Patung Pembebasan Irian BaratTinggi patung dari kaki sampai kepala 9 meter, tinggi keseluruhan sampai ujung tangan kurang lebih 11 meterTinggi kaki patung (voetstuk) 20 meter terhitung dari jembatan, sedangkan dari landasan bawah 25 meterPelaksana PN Hutama Karya dengan arsitek SilabanPelaksana pematung: Team pematung Keluarga Arca YogyakartaLama pembuatan kurang lebih 1 tahunDiresmikan pada tanggal 17 Agustus 1963 oleh Bung KarnoPatung ini ditempatkan di Lapangan Banteng, karena lokasi ini strategis dan luas, memenuhi persyaratan untuk penempatan patung setinggi ini. Lapangan Banteng pada waktu itu merupakan pintu gerbang bagi tamu-tamu yang datang dari lapangan terbang Kemayoran. Sehingga penempatan Patung Pembebasan Irian Barat akan menimbulkan kesan estetis dan historis bagi ibukota Jakarta.Ditulis Kembali Oleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar