Sudah
menjadi kewajiban manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak
kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk bekerja guna
memenuhinya. Seorang Muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan
dunia dan akhirat. Tidaklah semata hanya berorientasi pada kehidupan
akhirat saja, melainkan pula untuk memikirkan kepentingan keduniaan.
Untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat maka wajiblah
seorang muslim untuk bekerja.
Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.
salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya".
Bekerja
adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik
biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang.
Seseorang layak untuk mendapatkan redikat yang terpuji seperti
potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata
karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”,
dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an
diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat.
Dalam al-Qur’an maupun Sunnah banyak ditemukan literatur yang
memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam rangka memenuhi dan
melengkapi kebutuhan duniawi. Salah satu perintah Allah kepada umatNya
untuk bekerja termaktub dalam surat at-Taubah : 105 yang artinya “Dan
katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Islam
adalah ajaran yang mendorong umatnya untuk memiliki semanagat bekerja
dan beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas, rasulullah SAW
bersabda, “Ya Allah aku belindung kepada-Mu dari lemah pendirian,
sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang, dan
dikendalikan orang lain dan aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur,
dan fitnah (ketika) hidup dan mati. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, rasulullah SAW bersabda “Carilah oleh kalian semua rezeki di muka bumi” (HR. Thabrani).[2]
Bekerja
adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia,
sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan
saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan
martabat dirinya sebagai hambaAllah yang mengelola seluruh alam sebagai
bentuk dari cara dirinya menysukuri kenikmatan dari Allah SWT.
Apabila
bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang
enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri
untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia
itu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya
sebagai manusia, untuk kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina
dari binatang.
Cirri
penting dan utama dari orang-orang mukmin yang aka berhasil dalam
hidupnya adalah kemampuannya untuk meninggalkan perbuataan yang
melehirkan kemalasan dan digantinya dengan amalanyang bermanfaat.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “dari Abu Hurairah bersabda Rasulullah , “ Sebaik-baiknya Islam seorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi) [3]
PEMBAHASAN
Pengertian Etos Kerja Islam
Secara etimologis (bahasa) kata “etos” berarti semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Sedangkan kata “kerja” berarti sesuatu yg dilakukan untuk mencari nafkah[4]. Atau istilah
yang terdiri dari dua kata ; Etos dan Kerja. Etos sendiri berasal dari
Bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti sikap, kepribadian, watak,
karakter, cara berbuat, keyakinan atas sesuatu dan persepsi terhadap
nilai bekerja . Dengan kata lain, Etos adalah norma serta cara diri
mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu. Adapun
kerja adalah sesuatu yang setidaknya mencakup tiga hal ; (1) Dilakukan
atas dorongan tanggung jawab, (2) Dilakukan karena kesengajaan dan
perencanaan dan (3) Memiliki arah dan tujuan yang memberikan makna bagi
pelakunya.[5]
Sedangkan etos kerja dalam makna yang luas berarti menyangkut
akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak
seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja
dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman
banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan
bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya,
semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak
rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal
spiritual tetapi juga program aksi.[6]
Etos
kerja Islam pada hakikatnya merupakan bagian dari konsep Islam tentang
masnusia karena etos kerja adalah bagian dari proses eksistensi diri
manusia dalam lapangan kehidupannya yang amat luas dan kompleks. Dalam
(QS. Al- Baqarah : 30-33 dan QS. Hud : 61)[7] telah dijelaskan bahwa manusia diangkat Tuhan menjadi wakil-Nya di muka bumi agar manusia dapat memakmurkannya.[8]
Etos
kerja adalah rajutan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang
dalam bekerja. Etos kerja pada hakikatnya dibentuk dan dipengaruhi oleh
system nilai-nilai yang dianut oleh seseorang dalam bekerja, yang
kemudian membentuk semangat yang membedakannya, antara yang satu dan
yang lainnya. Etos kerja Islam dengan demikian meruakan refleksi pribadi
seorang khalifah yang bekerja dengan bertumpu pada kemampuan konseptual
yang dimilkinya, bersifat kerdil dan inovatif. [9]
Etos kerja setidaknya mencakupi beberapa unsur penting :[10]
1. Etos
kerja itu bersumber dan berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang
tertanam dalam jiwa seseorang. Itulah sebabnya menjadi sangat penting
untuk menyeleksi setiap nilai yang akan kita tanamkan dalam jiwa kita.
Maka seorang muslim harus bisa –dan tentu saja mau- mengisi jiwanya
dengan nilai-nilai Islam, sehingga pada saat ia mengekspresikan dan
mewujudkan kerja nyatanya ia selalu melandasinya pada semangat untuk
melakukan perbaikan dan menghindarkan nilai-nilai fasad.
2. Etos
kerja adalah bukti nyata yang menunjukkan pandangan hidup seseorang
yang telah mendarah daging. Pandangan hidup yang benar tentu saja akan
melahirkan etos kerja yang lurus. Begitu pula sebaliknya
3. Etos
kerja menunjukkan pula motivasi dan dorongan yang melandasi seseorang
melakukan kerja dan amalnya. Semakin kuat dan kokoh etos kerja itu dalam
diri seseorang, maka semakin kuat pula motivasinya untuk bekerja dan
beramal.
4. Etos kerja yang kuat akan mendorong pemiliknya untuk menyiapkan rencana yang dipandangnya dapat menyukseskan kerja atau amalnya
5. Etos
kerja sesungguhnya lahir dari tujuan, harapan dan cita-cita pemiliknya.
Harapan dan cita-cita yang kuatlah yang akan meneguhkan etos kerjanya.
Cita-cita yang lemah –walaupun di jalan yang benar- hanya akan
melahirkan etos kerja yang lemah pula.
B. Karakteristik Etos Kerja Seorang Muslim
Prinsipnya
segala apa yang kerjakan oleh seorang muslim adalah bernilai ibadah di
sisi Allah SWT apabila diniatkan untuk meraih ridha-Nya. Termasuk di
dalamnya rangka mencari rizki,
menimba ilmu, dan lain sebagainya. Maka sungguh beruntung sebagai
seorang muslim yang apabila ia niatkan segala perbuataannya hanya untuk
meraih ridhaNya. Bekerja
untuk mencari fadhilah karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan
taraf hidup dan martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah
yang esensial, karen Nabi bersabda : “Kemiskinan itu sesungguhnya lebih
mendekati kepada kekufuran”.
Maka,
melakukan segala aktifitas dengan diniatkan ibadah merupakan cirri
utama dari etos kerja seorang muslim. Hal ini dikarenakan memang manusia
diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah
SWT, “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu”. Disamping
itu pula, sebagai seorang muslim, maka budaya kerja islami bertumpu
pada akhlakul karimah, umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energy
batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam
koridor jalan yang lurus.
Jika
kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib,
maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada
dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa
diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan
pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana
individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing.
Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum,
kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut
dengan fardhu kifayah,sehingga lebih menjamin terealisasikannya
kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks
kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan
kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak
ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Cirri-ciri
orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tamapak dalam
kehidupan sehari-hari yang tentuya berlandaskan pada suatu keyakinan
yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah.
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seorang
menghayati, memahami, cara bekerja dengan baik.
Adapun prinsip utama seorang muslim dalam bekerja ialah:[11]
1. Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada ni’mat Allah SWT. (QS. Saba’ [34] : 13)
2. Seorang
Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil yang baik bagi
kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS.
Al-Baqarah [002] : 201
dan
di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari
siksa neraka".
3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy (kuat) dan al-amiin (dapat dipercaya). Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Qashash [28] : 26
Lafadz
“Al-qawiyy” merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga
berarti, memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual,
spiritual). Sedangkan lafadz “al-Amiin merujuk kepada integrity, satunya
kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.
4. Kerja
keras. Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba
hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga
seorang pekerja keras tidak mengenal kata “gagal” (atau memandang
kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda). Oranfg yang bekerja
keras dikelompokkan sebagai mujahid di sisi Allah SWT. Hal ini
sesuai dengan pesan RAsulullah SAW dala sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, yang artinya “Sesungguhnya Allah mencintai hanba-Nya
yang bekerja dan terampil. Barang siapa bersusah payah mencari nafkah
untuk keluarganya, maka ia serupa dengan seorang mujahid di jlan Allah”.
(HR. Ahmad), sebaliknya Islam mengutuk perbuatan malas-malasan.[12]
5. Kerja
dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan;
terencana; memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Seperti yang
tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.
Jika
etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang
Muslim bersumber dari visinya: meraih kebaikan baik di dunia dan juga di
akhirat. Jika etos kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan
karakter, sikap, mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang Muslim
senantiasa menunjukkan kesungguhan. maka
etos kerja kaum Muslim selayaknya memperhatikan kualitas pekerjaannya.
Ini artinya, dalam bekerja karakteristik spiritual tetap terjaga dan
terpelihara yakni pekerjaan itu dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab.Tanggung jawab terhadap kerja berarti kesiapan untuk bertanggung
jawab di hadapan Yang Mutlak karena kerja adalah saksi bagi semua
tindakan manusia.
Apapun
yang ingin kita capai harus melalui sebuah proses kerja dan ‘amal. Dan
bila para pengusung panji kedurhakaan pada Allah Azza wa Jalla juga
bekerja dengan sangat keras untuk memperbanyak
pengikutnya, lalu mengapa kita –para pengusung panji ketundukan pada
Allah- tidak bekerja keras pula –setidaknya dengan ‘kekerasan’ yang sama
dengan mereka bila kita tidak mampu (baca : mau) bekerja lebih keras
memperbanyak kafilah orang-orang yang berserah diri kepada Allah ?
Hal
ini tentu saja semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa Islam sebagai
satu-satunya agama yang haq adalah agama yang menjadikan kerja dan ‘amal
sebagai salah satu bagian pentingnya. Anda bahkan tidak bisa disebut
sebagai seorang mu’min bila iman Anda hanya sebatas hati dan ucapan,
namun tidak dibuktikan dalam wujud perbuatan.
Ketika
kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan
moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam
memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya,
apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang
penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah.
Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara
fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara
sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan
skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat
primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang
bernilai guna sebagai pelengkap
Berdasarkan
itu semua, maka hajat setiap muslim untuk meningkatkan kualitas kerja
dan ‘amalnya tentu semakin besar dan mendesak. Dan untuk mewujudkan hal
itu, seorang muslim tentu saja harus mempunyai etos kerja yang kokoh dan
kuat yang kemudian mendorongnya untuk bekerja dan beramal sebaik
mungkin hingga menghadap Allah SWT.
KESIMPULAN
Manusia
adalah makhluk sosial. Interaksi sosial merupakan kegiatan yang sudah
menjadi kelaziman yang mewarnai kehidupan semua insan. Tidaklah bisa
seorang hidup tanpa adanya variasi hidup dan intervensi dari berbagai
pihak. Tidak bisa dibayagkan ketika hidup hanya dipenuhi dengan satu
warna saja. Dalam rangka memenuhi dan mewarnai hidup itu maka hendaklah
seorang muslim khususnya harus melakoni berbagai macam aktivitas
keduniawian yang tentunya tidak berseberangan dan linear dengan ajaran
syariat agama Islam serta tidak meniggalkan dan melanggarkan norma-norma
dan nilai yang terkandung dalam agama Islam.
Karakteristik
dari etos dalam bekerja yang harus dimiliki oleh seorang muslim
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya memberikan gambaran dan
tujuan tentang bagaimana seorang muslim harus bermuamalah serta
menunjukan bahwasanya Islam memberikan aturan-aturan serta
batasan-batasan yang semuanya bertujuan membimbing manusia dan mendorong
manusia menjadi seorang muslim yang benar (shalih) dan juga yang
membenarkan (muslih).
DAFTAR PUSTAKA
· Aziz ,Moh. Ali, Suhartini. Rr., A. Halim, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: paradigm Aksi Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005, Cet 1
· Hafidhudin Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2004 Cet 2,
· Luth , Thohir, Antara perut & etos kerja dalam perspektif Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2008
· Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), V1.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar