Sabtu, 19 Oktober 2013

ETOS KERJA SEORANG MUSLIM

  Sudah menjadi kewajiban manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk bekerja guna memenuhinya. Seorang Muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Tidaklah semata hanya berorientasi pada kehidupan akhirat saja, melainkan pula untuk memikirkan kepentingan keduniaan. Untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat maka wajiblah seorang muslim untuk bekerja.

            Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Seseorang layak untuk mendapatkan redikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”,  yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat.
            Dalam al-Qur’an maupun Sunnah banyak ditemukan literatur  yang memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam rangka memenuhi dan melengkapi kebutuhan duniawi. Salah satu perintah Allah kepada umatNya untuk bekerja termaktub dalam surat at-Taubah : 105 yang artinya  Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
            Islam adalah ajaran yang mendorong umatnya untuk memiliki semanagat bekerja dan beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas, rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah aku belindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang, dan dikendalikan orang lain dan aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur, dan fitnah (ketika) hidup dan mati. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, rasulullah SAW bersabda “Carilah oleh kalian semua rezeki di muka bumi” (HR. Thabrani).[2]
            Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hambaAllah yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya menysukuri kenikmatan dari Allah SWT.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia, untuk kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang.
Cirri penting dan utama dari orang-orang mukmin yang aka berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya untuk meninggalkan perbuataan yang melehirkan kemalasan dan digantinya dengan amalanyang bermanfaat. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “dari Abu Hurairah bersabda Rasulullah , “ Sebaik-baiknya Islam seorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi) [3]

PEMBAHASAN
Pengertian Etos Kerja Islam
            Secara etimologis (bahasa) kata “etos” berarti semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Sedangkan  kata “kerja” berarti sesuatu yg dilakukan untuk mencari nafkah[4]. Atau istilah yang terdiri dari dua kata ; Etos dan Kerja. Etos sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter, cara berbuat, keyakinan atas sesuatu dan persepsi terhadap nilai bekerja . Dengan kata lain, Etos adalah norma serta cara diri mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu. Adapun kerja adalah sesuatu yang setidaknya mencakup tiga hal ; (1) Dilakukan atas dorongan tanggung jawab, (2) Dilakukan karena kesengajaan dan perencanaan dan (3) Memiliki arah dan tujuan yang memberikan makna bagi pelakunya.[5]
Sedangkan etos kerja dalam makna yang luas berarti menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.[6]
            Etos kerja Islam pada hakikatnya merupakan bagian dari konsep Islam tentang masnusia karena etos kerja adalah bagian dari proses eksistensi diri manusia dalam lapangan kehidupannya yang amat luas dan kompleks. Dalam (QS. Al- Baqarah : 30-33 dan QS. Hud : 61)[7] telah dijelaskan bahwa manusia diangkat Tuhan menjadi wakil-Nya di muka bumi agar manusia dapat memakmurkannya.[8]
            Etos kerja adalah rajutan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang dalam bekerja. Etos kerja pada hakikatnya dibentuk dan dipengaruhi oleh system nilai-nilai yang dianut oleh seseorang dalam bekerja, yang kemudian membentuk semangat yang membedakannya, antara yang satu dan yang lainnya. Etos kerja Islam dengan demikian meruakan refleksi pribadi seorang khalifah yang bekerja dengan bertumpu pada kemampuan konseptual yang dimilkinya, bersifat kerdil dan inovatif. [9]
Etos kerja setidaknya mencakupi beberapa unsur penting :[10]
1.      Etos kerja itu bersumber dan berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang tertanam dalam jiwa seseorang. Itulah sebabnya menjadi sangat penting untuk menyeleksi setiap nilai yang akan kita tanamkan dalam jiwa kita. Maka seorang muslim harus bisa –dan tentu saja mau- mengisi jiwanya dengan nilai-nilai Islam, sehingga pada saat ia mengekspresikan dan mewujudkan kerja nyatanya ia selalu melandasinya pada semangat untuk melakukan perbaikan dan menghindarkan nilai-nilai fasad.
2.      Etos kerja adalah bukti nyata yang menunjukkan pandangan hidup seseorang yang telah mendarah daging. Pandangan hidup yang benar tentu saja akan melahirkan etos kerja yang lurus. Begitu pula sebaliknya
3.      Etos kerja menunjukkan pula motivasi dan dorongan yang melandasi seseorang melakukan kerja dan amalnya. Semakin kuat dan kokoh etos kerja itu dalam diri seseorang, maka semakin kuat pula motivasinya untuk bekerja dan beramal.
4.      Etos kerja yang kuat akan mendorong pemiliknya untuk menyiapkan rencana yang dipandangnya dapat menyukseskan kerja atau amalnya
5.      Etos kerja sesungguhnya lahir dari tujuan, harapan dan cita-cita pemiliknya. Harapan dan cita-cita yang kuatlah yang akan meneguhkan etos kerjanya. Cita-cita yang lemah –walaupun di jalan yang benar- hanya akan melahirkan etos kerja yang lemah pula.
B.        Karakteristik Etos Kerja Seorang Muslim
            Prinsipnya segala apa yang kerjakan oleh seorang muslim adalah bernilai ibadah di sisi Allah SWT apabila diniatkan untuk meraih ridha-Nya. Termasuk di dalamnya  rangka mencari rizki, menimba ilmu, dan lain sebagainya. Maka sungguh beruntung sebagai seorang muslim yang apabila ia niatkan segala perbuataannya hanya untuk meraih ridhaNya. Bekerja untuk mencari fadhilah karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah yang esensial, karen Nabi bersabda : “Kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran”.
            Maka, melakukan segala aktifitas dengan diniatkan ibadah merupakan cirri utama dari etos kerja seorang muslim. Hal ini dikarenakan memang manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT, “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu”. Disamping itu pula, sebagai seorang muslim, maka budaya kerja islami bertumpu pada akhlakul karimah, umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energy batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus.
            Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah,sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
            Cirri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tamapak dalam kehidupan sehari-hari yang tentuya berlandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seorang menghayati, memahami, cara bekerja dengan baik.
            Adapun prinsip utama seorang muslim dalam bekerja ialah:[11]
1.      Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada ni’mat Allah SWT. (QS. Saba’ [34] : 13)

 
Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.

2.      Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil yang baik bagi kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [002] : 201

 dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka".
3.      Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy (kuat) dan al-amiin (dapat dipercaya). Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Qashash [28] : 26

salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

Lafadz “Al-qawiyy” merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual). Sedangkan lafadz “al-Amiin merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.
4.      Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal kata “gagal” (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda). Oranfg yang bekerja keras dikelompokkan sebagai mujahid di sisi Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pesan RAsulullah SAW dala sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang artinya “Sesungguhnya Allah mencintai hanba-Nya yang bekerja dan terampil. Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka ia serupa dengan seorang mujahid di jlan Allah”. (HR. Ahmad), sebaliknya Islam mengutuk perbuatan malas-malasan.[12]
5.      Kerja dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.
Jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim bersumber dari visinya: meraih kebaikan baik di dunia dan juga di akhirat. Jika etos kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan. maka etos kerja kaum Muslim selayaknya memperhatikan kualitas pekerjaannya. Ini artinya, dalam bekerja karakteristik spiritual tetap terjaga dan terpelihara yakni pekerjaan itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Tanggung jawab terhadap kerja berarti kesiapan untuk bertanggung jawab di hadapan Yang Mutlak karena kerja adalah saksi bagi semua tindakan manusia.
Apapun yang ingin kita capai harus melalui sebuah proses kerja dan ‘amal. Dan bila para pengusung panji kedurhakaan pada Allah Azza wa Jalla juga bekerja dengan sangat keras untuk memperbanyak pengikutnya, lalu mengapa kita –para pengusung panji ketundukan pada Allah- tidak bekerja keras pula –setidaknya dengan ‘kekerasan’ yang sama dengan mereka bila kita tidak mampu (baca : mau) bekerja lebih keras memperbanyak kafilah orang-orang yang berserah diri kepada Allah ?
Hal ini tentu saja semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang haq adalah agama yang menjadikan kerja dan ‘amal sebagai salah satu bagian pentingnya. Anda bahkan tidak bisa disebut sebagai seorang mu’min bila iman Anda hanya sebatas hati dan ucapan, namun tidak dibuktikan dalam wujud perbuatan.
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap
Berdasarkan itu semua, maka hajat setiap muslim untuk meningkatkan kualitas kerja dan ‘amalnya tentu semakin besar dan mendesak. Dan untuk mewujudkan hal itu, seorang muslim tentu saja harus mempunyai etos kerja yang kokoh dan kuat yang kemudian mendorongnya untuk bekerja dan beramal sebaik mungkin hingga menghadap Allah SWT.


KESIMPULAN
            Manusia adalah makhluk sosial. Interaksi sosial merupakan kegiatan yang sudah menjadi kelaziman yang mewarnai kehidupan semua insan. Tidaklah bisa seorang hidup tanpa adanya variasi hidup dan intervensi dari berbagai pihak. Tidak bisa dibayagkan ketika hidup hanya dipenuhi dengan satu warna saja. Dalam rangka memenuhi dan mewarnai hidup itu maka hendaklah seorang muslim khususnya harus melakoni berbagai macam aktivitas keduniawian yang tentunya tidak berseberangan dan linear dengan ajaran syariat agama Islam serta tidak meniggalkan dan melanggarkan norma-norma dan nilai yang terkandung dalam agama Islam.
            Karakteristik dari etos dalam bekerja yang harus dimiliki oleh seorang muslim sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya memberikan gambaran dan tujuan tentang bagaimana seorang muslim harus bermuamalah serta menunjukan bahwasanya Islam memberikan aturan-aturan serta batasan-batasan yang semuanya bertujuan membimbing manusia dan mendorong manusia menjadi seorang muslim yang benar (shalih) dan juga yang membenarkan (muslih). 


DAFTAR PUSTAKA

·         Aziz ,Moh. Ali, Suhartini. Rr., A. Halim, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: paradigm Aksi Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005, Cet 1
·         Hafidhudin Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani,  2004 Cet 2,
·         Luth , Thohir, Antara perut & etos kerja dalam perspektif Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2008
·         Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), V1.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar