Burung Cenderawasih dapat Anda temukan di Indonesia timur,
pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Jenis burung ini merupakan
anggota famili famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes, dikenal karena
bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang
dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung
cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50 gram dan 15 cm hingga
Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih Manukod
Jambul-bergulung pada 430 gram.
Masyarakat di Papua sering memakai bulu cendrawasih dalam
pakaian dan adat mereka, dan beberapa abad yang lalu bulu itu penting untuk
dibuat topi wanita di Eropa. Perburuan untuk mendapat bulu dan perusakan
habitat menyebabkan penurunan jumlah burung pada beberapa jenis ke tingkat
terancm; perusakan habitat karena penebangan hutan sekarang merupakan ancaman
utama.
Perburuan burung
cendrawasih untuk diambil bulunya untuk perdagangan topi marak di akhir
abad 19 dan awal abad 20 (Cribb 1997), namun sekarang burung-burung itu
dilindungi dan perburuan hanya dibolehkan untuk kebutuhan perayaan dari suku
setempat. Dalam hal Cendrawasih Panji, disarankan mengambil dari rumah sarang
burung Namdur. Tatkala Raja Mahendra dari Nepal naik tahta pada tahun 1955,
ternyata bulu burung cendrawasih pada mahkota kerajaan Nepal perlu diganti. Karena
larangan perburuan, penggantian akhirnya diperbolehkan dari kiriman yang disita
oleh hukum Amerika Serikat.
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea,
termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning besar, Paradisaea apoda. Jenis ini
dideskripsikan dari spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang.
Spesimen ini disiapkan oleh pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya
agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan
kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap berada di udara
karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise (‘burung surga’
oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda – yang berarti ‘tak berkaki’.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan
sistem kawin jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk
bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin.
Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia memiliki tari
perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis yang dimorfik seksual
bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan sebagai jenis
baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.
Di Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat, pada
zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya. Suatu
hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di
hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di
sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka pun
tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon pandan yang berbuah lebat.
Perempuan tua itu pun segera memetik beberapa buah pandan lalu diberikannya kepada
anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah pandan itu
hingga badannya terlihat segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu
merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina
itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang
tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil.
Melihat keajaiban itu, perempuan itu juga bermaksud memakan buah pandan agar
mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah pandan itu,” kagum perempuan itu,
“Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah pandan lalu memakannya.
Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa
dengan anjingnya. Dengan perut yang semakin lama semakin membesar, ia bergegas
pulang. Setiba di rumah, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu
diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya tumbuh menjadi dewasa. Kweiya
sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun
sayur. Karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu batang
pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun
dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan membumbung
tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut telah
menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang
membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber
asap tebal tersebut. Setelah menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam,
sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu ia mendapati seorang pemuda
tampan sedang menebang hutan di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria
tua itu, “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya,” jawab pemuda itu, “Saya ingin membuat
kebun untuk membantu ibu saya.”
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti
kepada orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini,” kata pria tua itu,
“Kamu akan lebih cepat menebang pohon.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.
Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan puluhan pohon yang besar. Setelah itu,
ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya
pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon itu,
Anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria
tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu
ringan mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab
Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja.
Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya,
Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus
memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta
Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya pun memasak makanan yang cukup
banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam
perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah
pohon tebu yang lengkap dengan daunnya. Setiba di rumahnya, bungkusan tersebut
di letakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan
seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan
sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan
pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Alangkah
terkejut ia begitu ia membuka bungkusan itu. Ia mendapati seorang pria tua
sedang berbaring di dalamnya. Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya
berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan
itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum sera menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,’ ucap Kweiya, “Aku tidak bermaksud
menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang
pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia
pun menerima permintaan anaknya. Sejak itulah, pria tua itu tinggal bersama
mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua
anak laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua
itu. Kweiya pun menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka
hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka akhirnya
menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka
iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun,
kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya
tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di
salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang sebanyak
mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun.
Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu pun bertanya
kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu, Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya
serentak.
Rupanya, mereka takut menceritakan peristiwa perkelahian
mereka yang menyebabkan Kweiya minggat pergi dari rumah. Namun, adik bungsu
mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka.
Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian
berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah. Namun, bukan
Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.
“Eek.. ek… ek… ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan
pintalan benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan
selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka.
Rupanya, Kweiya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya
berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu
sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?”
tanyanya.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab
Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu
menyisipkannya pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian
mengepak-epakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan
pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih
terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong… wong… wong… wong…! Ko… ko… kok… ! Wo-wik!” demikian
kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering
muncul di Fak-Fak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin,
burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam
bahasa Lha disebut Siangga dan Hanggam Tombor untuk burung cenderawasih betina.
Kedua adik laki-laki Kweiaya yang menyaksikan peristiwa
ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka
akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah
mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna
merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian
terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya,
hutan rimba di Fak-Fak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang kurang
menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
* * *
Dari Cerita diatas, dapat kita ambil
satu pesan moral yaitu bahwa sifat suka saling iri hati terhadap saudara
sendiri seperti kedua adik laki-laki Kweiya akan mengakibatkan malapetaka.
Dituliskembali oleh Arti Tresno Koya Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar