Selasa, 29 Oktober 2013

CERITA SEJARAH TENTANG KOTA JAYAPURA



Penduduk asli Jayapura adalah suku Tobati, Kayubatu, dan Kayupulo. Kapan penduduk asli mulai mendiami Jayapura tidak ada satu literatur yang mencatatnya secara pasti. Sebelum mereka kontak dengan pengaruh luar, suasana kehidupan yang berkonotasi rukun, aman, otonom, tenang, dan bebas ada di dalam masyarakat asli tersebut.
"Kepala Dinas Tata Kota Jayapura MHT Sagala di Jayapura, menjelaskan, ketika terjadi kontak dengan penduduk dari luar tahun 1545, mulailah terjadi perubahan. Perubahan itu lambat laun membawa kemajuan. Misalnya, Kota Jayapura yang sekarang yang telah berkembang menjadi ibu kota kabupaten daerah tingkat II Jayapura dan Kota Madya Jayapura.Perubahan dan kontak yang terjadi antara lain dengan bangsa Portugis yang dikenal dengan perjalanan Bartholomeus Diaz, Vasco da Gama, Marco Polo, dan seterusnya.
Perjalanan ini kemudian membuat orang Eropa melakukan penemuan dunia-dunia baru dengan tujuan mencari rempah-rempah. Era pelayaran ini membawa orang Portugis tiba juga di Indonesia pada umumnya dan secara khusus di Irja.Orang-orang Spanyol pun pernah menginjakkan kaki di Irja. Sejarah arung samudera mencatat seorang berbangsa Spanyol bernama Ynico Ortis de Fretes pada tanggal 16 Mei 1545 berangkat dari Tidore ke Meksiko dengan kapal disebut San Juan. Dalam perjalanan, ia tiba di Sungai Mamberamo, 16 Juni 1545, kemudian memberi nama wilayah itu beserta orang-orang yang menghuninya, (Nova Guinea) Kemudian muncul lagi pengarung lain, antara lain Alvaro Memdana de Neyra (1567), Antonio Martha (1591-1593).
Tanggal 13 Agustus 1768 satu rombongan dengan kapal laut berangkat dari Nantes, Perancis dipimpin pelaut LA Bougenville kemudian sempat berlabuh di Teluk Yos Sudarso, Jayapura. Ia memberi nama Gunung Dofonsoro (Dobonsolo) menjadi Gunung Cyclops. Nama ini diambil dari nama seorang raksasa Yunani dalam mitos Yunani, raksasa bermata satu dan wajahnya sangat seram. Ia juga memberi nama sebuah gunung di sebelah timur Jayapura di sekitar Skow dengan nama Bougainville.
DALAM(surat keputusan) Gubernur en Hindia Belanda Nomor 4 Tahun tanggal 28 Agustus 1909 kepada asisten Residen, menyebutkan di Manokwari, Irja, diperbantukan satu detasemen yakni empat perwira dan 80 tentara. Detasemen ini diperbantukan untuk mengadakan persiapan bagi komisi pengaturan perbatasan antara Belanda-Jerman yang akan melakukan tugas pada tahun berikutnya.
 Ini berdasarkan petunjuk Residen Ternate untuk mengeksplorasi secara teratur daerah tersebut. Tanggal 28 September 1909 Kapal "Edi" mendaratkan satuan detasemen dibawah komando Kapten Infanteri FJP Sache. Mereka seharusnya mendarat di Manokwari, namun akhirnya memilih mendarat di dekat Sungai Nau O Bwai (bahasa daerah Kayupulo berarti menghiasi diri) atau lebih populer di masyarakat Kayupulo disebut Numbay artinya airnya sangat jernih. Kapten Sache dibantu tiga perwira di antaranya Dr Gyllerup dan perwira laut kelas satu JH Luumes yang mengepalai tim komisi perbatasan.
Mereka mulai menebang pohon-pohon untuk membuat barak. Di antaranya pohon kelapa sebanyak 40 batang, tetapi segera pula diberikan pembayaran ganti rugi kepada pemiliknya seharga 40 ringgit atau 40 x f 2,50 = f 100 (seratus gulden). Ganti rugi tersebut dinilai sangat besar waktu itu (tahun 1910). Kemudian seorang ahli sejarah Belanda bernama Kiellich menulis, "Hollandia kostte vierting (40) rijk daalders" artinya Jayapura dibeli dengan harga 40 ringgit atau f 100. Maka berdirilah permukiman Belanda pertama terdiri dua sungai masing-masing Numbay dan Anafri yang menyatu dan bermuara di Teluk Numbay atau Yos Sudarso dengan sebutan Sungai Numbay.
Sungai Numbay mengalir melalui satu ngarai yang berawa-rawa penuh dengan pohon-pohon sagu dan bermata air di Pegunungan Cyclop. Karena patroli perbatasan Jerman memberi nama "Germanihoek" (pojok Jerman) kepada kompamennya. Sementara itu, Kapten Sache memberi tempat itu dengan sebutan Hollandia pada tanggal 7 Maret 1910. Maka, berubahlah nama dari Numbai menjadi Hollandia.
Hollandia yang dimaksudkan Sache adalah tempat di Taman Imbi sekarang ini, sebagai pusat Kota Jayapura. Di Taman itu sekarang berdiri Tugu Yos Sudarso sebagai tempat peristirahatan warga pada sore hari. Di sekitar tugu dijual makanan ringan oleh pedagang kaki berkeliaran menawarkan jasa kepada masyarakat yang ingin mengabadikan wajahnya di depan tugu.Kelompok masyarakat tertentu di Irja melihat Taman Imbi dan sekitarnya sebagai tempat bersejarah bagi suku bangsa Papua.
Di Taman Imbi itulah menurut masyarakat bendera bintang fajar pertama dikibarkan, 1 Desember 1961, dan diperingati sebagai hari lahir suku bangsa Papua. Persiapan hari lahir Irja terjadi di dalam Gedung Dewan Papua yang sekarang disebut Gedung Dewan Kesenian. Gedung itu dikuasai Satgas Papua sampai akhir Desember 2000 setelah diambil paksa oleh Brimob.
Masyarakat pun mengibarkan bendera bintang fajar di depan Gedung Dewan Kesenian sejak Desember 1999-Mei 2001.HARI jadi Hollandia dilukiskan secara singkat, pada 7 Maret 1910 cuaca sangat buruk, tetapi suasana disekitar penghuni detasemen cukup cerah. Keempat brigade berkumpul dalam sikap upacara sekeliling tiang bendera dengan pakaian yang rapih.Kapten Sache berpidato mula-mula dalam bahasa Belanda, kemudian dalam bahasa Melayu.
Kemudian ia memberi komando, "Dengan nama Ratu Belanda Naikkanlah Bendera! Semoga dengan perlindungan Tuhan tidak akan diturunkan selamanya." Setelah bendera dikibarkan, semua kelewang dan sangkur disentakkan dari sarung dan terdengar teriakkan, "Hura hura, lahirlah Hollandia."Mengapa nama Nau O Bwai atau Numbay diganti menjadi Hollandia? Hol berarti lengkung, teluk. Land berarti tanah,
Sehingga Hollandia artinya tanah yang berlekuk/berbukit. Belanda atau Nederland-geografinya menunjukkan keadaan berteluk-teluk. Geografi Kota Jayapura hampir sama dengan garis pantai utara negeri Belanda.Namun, dibalik makna tersebut, terkandung keinginan bangsa Belanda untuk menguasai wilayah yang kaya akan potensi alam tersebut. Buktinya, Kapten Sache menancapkan bendera Belanda kemudian mengatakan, "Semoga bendera ini berkibar selamanya."Irja secara definitif kembali ke pangkuan Indonesia 1 Mei 1963. Sejak saat itu pula nama Hollandia diganti menjadi Kota Baru (tahun 1963-1969), kemudian berganti nama menjadi Soekarnopura (tahun 1969-1975), dan Jayapura (tahun 1975-sekarang). Dengan demikian sebelum menjadi Jayapura, tersebut sudah empat kali mengalami perubahan nama yaitu Hollandia-Kotabaru-Sukarnopura–Jayapura, yang sekarang dipakai adalah “Jayapura “.
Berdasarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 1979 tanggal 28 Agustus 1979 tentang pembentukan Kotif Jayapura, dengan pelaksanaan peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 5 Tahun 1979 dan Instruksi Mendagri Nomor 30 Tahun 1979.
Kota Jayapura menjadi Kotif pada 14 September 1979 diresmikan oleh H Amir Machmud, Mendagri waktu itu. Pada hari yang sama dilantik Drs Florens Imbiri sebagai Wali Kota Jayapura oleh H Soetran, Gubernur Irja waktu itu.Kota Jayapura menjadi Kotif pertama di Irja dan ke-12 di Indonesia. Wali Kota Jayapura kedua dijabat Drs Michael Manufandu.
Berdasarkan UU No. 6 tahun 1993, Kota Adminstratif Jayapura menjadi Kotamadya Dati II Jayapura oleh Bapak Mendagri Yogie S.M betempat di lapangan Mandala Jayapura. Pada hari yang sama dilantik Drs. R. Roemantyo sebagai WaliKota KDH. Tingkat II Jayapura. WaliKota KDH. Tingkat II Jayapura menyusun dan melengkapi aparat, dinas otonom, dan dinas vertikal serta membentuk DPRD Kota, sesuai UU No, 5. tahun 1974 WaliKota KDH Tingkat II Jayapura dipilih oleh DPRD Kota dan terpilih Drs R. Roemantyo sebagai WaliKota yang definitif periode 1994/1995-1998/1999. Sekretariat Kota untuk pertama kali berkantor di Yoka menempati eks kompleks APDN di pinggir Danau Sentani. Setelah kantor baru berlokasi di Entrop selesai dibangun, pada bulan Juli 1998 kantor pindah ke Entrop di Jln. Balai Kota No. 1 Entrop Distrik Jayapura Selatan. Tongkat estafet pembangunan dilanjutkan oleh Bapak Drs. M. R Kambu, M.Si sebagai Walikota Jayapura dan J.I Renyaan, SH sebagai Wakil Walikota Jayapura periode 1999/2000 - 2004/2005. Untuk pertama kalinya pada tahun 2004 - 2005 dalam sejarah demokrasi di Indonesia pada umumnya dan Kota Jayapura pada khususnya dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, dimana masyarakat Kota Jayapura masih memberi kepercayaan kepada Bapak Drs. M.R Kambu, M.Si sebagai Walikota Jayapura dan Sudjarwo, BE sebagai Wakil Walikota Jayapura periode 2005 – 2010, Dilanjutkan dengan Walikota berikutnya yaitu  Drs. Benhur Tomy Mano, MM  dan  H Nur Alam, SE, M.Si  dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota  Jayapura  periode 2011-2016 oleh  Gubernur Papua Barnabas Suebu atas nama  Mendagri di Ruang Sidang DPRD Kota Jayapura.
*********
Potret Tempo dulu

 Kantor DPR
 Jalan Entrop
 Jalan A. Yani
 Pasar hamadi
Pelabuhan Jayapura

Pelabuhan Jayapura 
Sumber :

ASAL USUL BURUNG CENDERAWASIH



Burung Cenderawasih dapat Anda temukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Jenis burung ini merupakan anggota famili famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes, dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50 gram dan 15 cm hingga Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung pada 430 gram.
Masyarakat di Papua sering memakai bulu cendrawasih dalam pakaian dan adat mereka, dan beberapa abad yang lalu bulu itu penting untuk dibuat topi wanita di Eropa. Perburuan untuk mendapat bulu dan perusakan habitat menyebabkan penurunan jumlah burung pada beberapa jenis ke tingkat terancm; perusakan habitat karena penebangan hutan sekarang merupakan ancaman utama.
Perburuan burung cendrawasih untuk diambil bulunya untuk perdagangan topi marak di akhir abad 19 dan awal abad 20 (Cribb 1997), namun sekarang burung-burung itu dilindungi dan perburuan hanya dibolehkan untuk kebutuhan perayaan dari suku setempat. Dalam hal Cendrawasih Panji, disarankan mengambil dari rumah sarang burung Namdur. Tatkala Raja Mahendra dari Nepal naik tahta pada tahun 1955, ternyata bulu burung cendrawasih pada mahkota kerajaan Nepal perlu diganti. Karena larangan perburuan, penggantian akhirnya diperbolehkan dari kiriman yang disita oleh hukum Amerika Serikat.
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning besar, Paradisaea apoda. Jenis ini dideskripsikan dari spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang. Spesimen ini disiapkan oleh pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap berada di udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise (‘burung surga’ oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda – yang berarti ‘tak berkaki’.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan sistem kawin jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin. Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia memiliki tari perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis yang dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan sebagai jenis baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.
 

Di Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat, pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya. Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka pun tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon pandan yang berbuah lebat. Perempuan tua itu pun segera memetik beberapa buah pandan lalu diberikannya kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah pandan itu hingga badannya terlihat segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil. Melihat keajaiban itu, perempuan itu juga bermaksud memakan buah pandan agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah pandan itu,” kagum perempuan itu, “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah pandan lalu memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya. Dengan perut yang semakin lama semakin membesar, ia bergegas pulang. Setiba di rumah, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya tumbuh menjadi dewasa. Kweiya sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun sayur. Karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal tersebut. Setelah menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam, sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu ia mendapati seorang pemuda tampan sedang menebang hutan di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu, “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya,” jawab pemuda itu, “Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya.”
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini,” kata pria tua itu, “Kamu akan lebih cepat menebang pohon.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan puluhan pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon itu, Anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya pun memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu yang lengkap dengan daunnya. Setiba di rumahnya, bungkusan tersebut di letakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Alangkah terkejut ia begitu ia membuka bungkusan itu. Ia mendapati seorang pria tua sedang berbaring di dalamnya. Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum sera menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,’ ucap Kweiya, “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menerima permintaan anaknya. Sejak itulah, pria tua itu tinggal bersama mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya pun menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu pun bertanya kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu, Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.
Rupanya, mereka takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang menyebabkan Kweiya minggat pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.
“Eek.. ek… ek… ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Rupanya, Kweiya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanyanya.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkannya pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-epakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong… wong… wong… wong…! Ko… ko… kok… ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fak-Fak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam bahasa Lha disebut Siangga dan Hanggam Tombor untuk burung cenderawasih betina.
Kedua adik laki-laki Kweiaya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya, hutan rimba di Fak-Fak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
* * *
Dari Cerita diatas, dapat kita ambil satu pesan moral yaitu bahwa sifat suka saling iri hati terhadap saudara sendiri seperti kedua adik laki-laki Kweiya akan mengakibatkan malapetaka.

Dituliskembali oleh Arti Tresno Koya Timur